Band asal Jakarta, PeeWeeGaskins tampaknya mendewasakan diri mereka lewat album kedua yang bertajuk ‘Ad Astra Per Aspera’ ini. Setelah jatuh bangun di album pertama, ‘Welcoming The Sophomore’. Band yang dicintai sekaligus dibenci ini nampak mengalami perkembangan signifikan.
Bila di album pertama mereka hanya mengandalkan kekuatan materi lagu dan mengesampingkan sound, di album kedua mereka menggarap serius sektor sound. Hasilnya, suara gitar yang dihasilkan berkualitas jauh di atas album pertama mereka. Demikian pula dengan suara instrumen lain, enak didengar dan tidak lagi mengganggu. Pertukaran posisi instrumen antara Alditsa ‘Dochi’ Sadega dan Harry ‘Eye’ Pramahardhika terasa efektif. Dochi terbukti lebih cocok memetik bas. Permainannya cukup variatif dan sound basnya yang ‘bulat’ mampu menjadi dasar bagi instrumen lainnya.
Disamping itu, dari segi genre, band yang mengambil namanya dari nama pembunuh berantai ini lebih memantapkan diri di ranah PopPunk. Tak lagi mengedepankan bunyi-bunyian synthesizer (yang dulu terkadang overdo), kini mereka lebih mendewasa dengan memberi sentuhan suara piano disana-sini melalui Reza ‘Omo’ Satiri. Disamping beat breakdown yang masih terasa, permainan drum Renaldy ‘Kumis’ Prasetya lebih matang dan rapi.
Porsi vokal dalam album ini hampir 90% diberikan kepada Fauzan a.k.a Sansan. Hal ini juga terbukti efektif, karena suara duet vokal Dochi-Sansan pada album pertama terdengar timpang dan kurang sesuai. Dochi yang sadar suaranya tidak sebagus rekannya memilih mengalah dan hanya memberikan backing-backing suara rendah dan bernyanyi sesekali saja. Sementara Sansan semakin matang sebagai seorang vokalis. Suaranya yang tinggi dan khas sukses menyampaikan pesan-pesan dalam lagu di album ini.
Dari segi materi pun mereka cukup mumpuni dan tidak ‘terjebak’ pada paradigma lama mereka sebagai band ‘ababil. Band yang sempat dicerca habis-habisan di dunia maya oleh salah satu forum terbesar Indonesia ini berhasil menyematkan unsur-unsur ‘dewasa’ dalam lagu-lagunya. Unsur tersebut terasa terutama pada lagu Satir Sarkas yang New Found Glory-esque (dan anehnya, tidak terasa menjiplak), hingga Detik Tak Bergerak yang bernuansa Mae.
Selain itu ada Dari Mata Sang Garuda yang menghentak dan membakar semangat nasionalisme (walau tidak sedahsyat lagu Bendera milik Cokelat), Sebuah Rahasia yang sentimentil, dan Selama Engkau Hidup yang menyentil. Bahkan ada ‘efek kejut’ disaat Heru ‘Shaggydog’ ikut berdendang di lagu Aku Bukan Musuhmu. Unsur reggae yang diselipkan oleh PeeWeeGaskins berhasil menyegarkan pendengarnya di menit-menit terakhir.
Dari sektor lirik, lagu-lagu yang sebagian besar ditulis oleh Dochi ini mengedepankan sudut pandang seorang nerd (kutu buku) yang sering terkucilkan. Temanya pun beragam, dari putus cinta yang jamak hingga perenungan tentang hidup. Lirik Satir Sarkas secara gamblang menyerang lawan jenis yang disukai yang lebih memilih berpacaran dengan seseorang yang ‘nggak banget’. ‘Kau tak punya selera’ cukup menggambarkan hal tersebut.
Sementara lagu Selama Engkau Hidup adalah lagu ‘Selamat Ulang Tahun’ dari sudut pandang yang jauh dari ceria. Umur bertambah adalah pertanda semakin dekat dengan kematian, maka ‘Jangan jadi tua dan menyebalkan’. Kemeriahan pesta ultah juga digambarkan dengan sudut pandang seorang terkucil. ‘Jabat erat tangan yang biasa menikam’ adalah hal yang tanpa sadar sering kita lakukan sehari-hari.
Sisanya, 10 lagu dari album ini (kecuali lagu Jakarta Is A Mistake) berhasil memuaskan ekspektasi terhadap PeeWeeGaskins sebagai band yang cerdas dan berkualitas. Meskipun liriknya gamblang, namun kearoganan dan keangkuhan mereka yang santer didengungkan hampir-hampir tidak terdengar. PeeWeeGaskins terlepas dari segala kontroversi yang mengitarinya, telah berhasil membuat album kedua yang layak didengarkan dan direnungkan bersama.
Ad Astra Per Aspera (Dengan Perjuangan Meraih Bintang), adalah slogan mengenai proses, bukan hasil. Hasil akhir yang indah akan menanti mereka yang menghargai proses itu sendiri.
0 comments:
Posting Komentar